SEMIOLOGI MUSIK: Sebuah Cara Menafsiri Lagu-Lagu Kuno - Widjaja-Library

"Make a Difference with education and be the best" -Antoni Widjaja

Breaking

Friday 14 December 2018

SEMIOLOGI MUSIK: Sebuah Cara Menafsiri Lagu-Lagu Kuno

Semiologi merupakan ilmu simbol yang akrab dengan disiplin ilmu sejarah, dalam hal ini semiologi yang dimaksud bertujuan sebagai salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui prinsip-prinsip dari sebuah karya musik, baik musik klasik bahkan modern yang tak jarang lepas dari pengamatan karakteristik khusus musik Gregorian. Dalam persoalan ini, Gregorian yang dimaksud bukanlah musik Gregorian yang terbatas hanya pada masa Paus Gragorius Agung 540-604 di dunia Barat saja, melainkan suatu era yang sama, yang juga berlaku umum di semua kebudayaan dibelahan dunia manapun, termasuk kebudayaan di Nusantara yaitu, musik-musik kuno pada Abad Pertengahan. Sebab tidak ada jaminan bahwa, boleh jadi karya itu juga dibuat pada zaman yang juga sama toh! Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa, hampir seluruh musik kuno yang ada di Nusantara itu tidak diketahui pada jaman kapan karya itu dibuat, & mayoritas diwariskan turun temurun secara oral (lisan) tanpa tulisan. Tapi bukan berarti musik kuno itu tidak bisa dianalisis, atau sebaliknya, bisa dengan sangat mudah ditafsiri. Gak bisa begitu juga dong!
Salah satu cara yang lazim digunakan untuk menafsirkan musik adalah dengan jalan menulis (mentranskripsi) ulang kembali karya itu terlebih dahulu. Bukan dengan cara (jalan) langsung menerjemahkan (menafsiri) saja apa yang terlihat & di dengar itu tanpa menggali lebih jauh literatur maupun perspektif historis-nya. Seperti yang baru-baru ini diberitakan oleh laman media berita berbasis online Liputan6.com 17 Feb 2018, 12:01 WIB, bertajuk “Kala Pria AS 'Cinta' Musik Tradisional Indonesia, Ini Jadinya”, yang mengutip laman ABC Australia Plus, Sabtu (17/2/2018), yang mengabarkan bahwa:
"Secara tradisional, alat itu digunakan untuk melindungi petani dari cuaca, entah itu sengatan Matahari ataupun hujan.....Namun dibeberapa bagian tudung seperempat lingkaran tersebut dipasang senar bambu, & bagi mereka yang ahli menggunakannya, bisa mengeluarkan berbagai suara menyerupai perangkat gamelan"

Hal model ini malah justru akan mengaburkan substansi dari karya itu sendiri, bahkan boleh jadi akan berakibat ketersesatan sejarahnya. Dalam persolan ini bukan tanpa alasan, atau semacam suatu ketakutan dll. Sama sekali bukan itu. Tapi lebih pada memberikan konklusi lain dalam menerjemahkan kesenian yang jelas-jelas bukan kebudayaan si penafsir yang menganalisis kebudayaan yang ia tafsiri itu. Kan begitu!
Jika kita mengamati perkembangan musik kuno, bahkan Gregorian Music di dunia Barat sekalipun, dengan cara yang negatif begitu, tentu siapapun tidak akan pernah tau bagaimana cara repertoire (karya) itu awalnya dibuat & dinyanyikan. Jelas ini merupakan salah satu persoalan dharuri (mendasar) dari persoalan anlisa musik agar terhindar dari kekaburan tafsir. Apakah itu mengejutkan? Alih-alih mengomentari interpretasi karya musik yang tidak bisa lagi di dengar—terlepas dari keinginan mendefinisikan atau mengklasifikasi-nya sebagai salah satu jenis musik jaman tertentu atau apapun—itu, tentu sebagai seorang analis musik diluar konteks musik Barat, seharusnya mesti lebih terbuka! Sudah semestinya mempelajari & menggali secara lebih mendalam dulu sebelum menafsiri, baik dari berbagai literatur maupun studi komparasi (perbandingan) nya. Bukan malah menafsiri dengan gamblang begitu. Sebab boleh jadi, justeru malah akan menggiring kita pada kekaburan (penyesatan) sifat awal dibuatnya karya itu. Kan begitu!
Artinya, dengan melihat kembali jauh kebelakang dulu baik secara historis, tentu akan jauh lebih bijak, sebab dalam persoalan ini kesenian yang ditafsiri itu bukanlah kesenian yang lahir & tumbuh dari kebudayaan si penafsir. Dengan kata lain, butuh pendalaman khusus bahkan serius dulu sebelum menafsirinya, salah satunya baik itu dengan jalan mentranskripsi, menjadikannya score (partitur) musik untuk dibedah dengan pedekatan-pendekatannya ilmu terkait maupun pada studi -studi komparasinya.
Transkripsi, saya pikir itu adalah jalan satu-satunya untuk kita bisa kembali pada pendekatan teks (notasi) asli sebagai satu-satunya sumber utamnya itu. Tapi dengan catatan bahwa itu juga bukan sesuatu absolut 'yang mutlak adalah benar'. Teks itu tidak lebih merupakan langkah awal saja, sederhananya cuma sebagai cara. Roland Barthes, (2010: 12) Mengatakan:
“…teks merupakan pesan parasite yang di desain untuk mengkonotasikan imaji, atau ‘melapisi’ imaji dengan petanda kedua…..ini merupakan titik balik historis yang penting…..membuat imaji tidak lagi ‘mengilustrasikan’ kata-kata sebagai sesuatu yang jauh di luar dirinya. Sebaliknya, dari segi struktural, kata-katalah yang sekarang menyerahkan dirinya & menjadi parasite pada imaji……pada ilustrasi-ilustrasi tradisional, imaji berfungsi sebagai pengurai atau penerjemah teks (pesan dasar) yang bersifat konotatif [tersembunyi] menjadi denotatif [terungkap]. Sementara ketika kata-kata tertulis secara langsung pada imaji, imaji tidak lagi menguraikan atau ‘menampakkan’ teks, tetapi teks yang mensublimasikan atau merasionalisasikan imaji”
Artinya, disinilah peran disiplin ilmu semiologi, tentunya digunakan hanya sebagai jalan untuk mempelajari—salah satu notasi tertua yang boleh jadi malah yang terkaya disemua jenis indikasi—notasi ini, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa notasi merupakan teks musik, dengan maksud (bertujuan) untuk menggali hingga tidak ada lagi detail yang sekiranya berharga itu bisa lepas dari perhatian para analis musik.
Dalam hal ini setiap naskah “notasi” harus diperiksa dengan teliti sebelum akhirnya diperluas penyelidikannya, baik dengan cara membandingkan antara satu naskah musik ke naskah musik yang lain, yang masih dalam satu keluarga naskah ini. Penting juga diperhatikan bahwa pertama, pilihan yang dibuat antara tanda-tanda ini harus koheren antara satu dengan lainnya. Sebab sebuah tanda tertentu yang digunakan dalam semua kasus, dimana dalam konteks musik yang sama, juga sering ditemukan. Maka dengan cara demikianlah maksud dari verifikasi untuk setiap tanda-tanda itu akan terjawab. Kan begitu! Kerena tidak bisa dipungkiri bahwa pada setiap tanda pada musik itu sendiri memiliki arti tertentu, tanda-tanda yang begitu jelas dibedakan & digunakan ini, bahkan dengan sangat hati-hati digunakan oleh komponisnya saat mengkompos (menuliskan) karyanya. Nah, semiologi ini sebagai "jalan" untuk menjawab pertanyaan itu. Dalam arti yang lebih sempit, merupakan obyek semiologi lah untuk memecahkan persoalan ini.
Dalam lain kasus, hubungan antara semiologi & interpretasi seringkali dipahami secara inklud yang berujung pada tafsir absurd. Sebab perlu juga dipahami seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa, semiologi itu cuma ilmu untuk ‘mencari, mempelajari & membaca’ apa yang pertama kali ditulis oleh penulisnya, & apa yang dimaksud “secara maknawi” dari apa yang tertulis pada tulisan tersebut. Dalam hal ini semiologi itu bukanlah panglima tertinggi.
Artinya, secara dharuri (mendasar), semiologi memiliki ranah yang lazim disebut solfeggio. Untuk itu ia membawa keluar nilai-nilai antara suara yang beragam ini & membangun kembali hirarki asli antara apa yang harus di ikuti dalam kinerja & risiko performance yang seringkali menipu—dibanyak kasus dalam berbagai kebudayaan tidak jarang cara penulisan itu sendiri tidak sama persis seperti apa yang dimainkan—bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Tidak jarang teknik maupun tanda-tanda musik tertentu itu tidak tertulis dalam naskah (partitur) toh!. Hal ini juga menjadi salah satu kendala serius bagi seorang penafsir—yang tentunya dalam konteks notasi—termasuk seorang analis musik saat sang penafsir itu sendiri menganalisa & menafsiri naskah-naskah musik kuno itu. Sebab kecenderungan mengolah fakta hanya dari satu sisi & kata pada teks-teks melodi itu, akan melahirkan perspektif baru yang multi tafsir. Sebab selalu ada kecenderungan ditemukannya fakta lain pada naskah kuno itu. Nah sisi yang berlawanan itu juga tentu akan memberikan kecenderungan kriteria-kritera lain pada naskah musik itu sendiri yang juga analog “berkesesuaian” dengan apa yang ditafsirkan oleh seorang penafsir musik itu sendiri.
Sumber bacaan:

  • Roland Barthes—IMAJI MUSIK TEKS: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan & Pembacaan Serta Kritik Sastra. Jalasutra. Yogyakarta, 2010

No comments:

Post a Comment