AKULTURASI SENI: Silang Budaya Dalam Seni Pertunjukan Indonesia - Widjaja-Library

"Make a Difference with education and be the best" -Antoni Widjaja

Breaking

Monday, 19 November 2018

AKULTURASI SENI: Silang Budaya Dalam Seni Pertunjukan Indonesia

Pertemuan Antar Dua Kebudayaan

Pertemuan antar dua kebudayaan dalam seni pertunjukan di Indonesia itu, merupakan salah satu dari beragam jenis corak pertunjukan seni dalam wujud kebudayaan asli Indonesia bahkan bahkan dipercaya telah ada sejak zaman prasejarah. Dalam kesenian tradisional di Indonesia, terdapat banyak wujud seni pertunjukan yang masih eksis dimasyarakatnya sampai dengan saat ini. Salah satunya katakanlah seperti seni pertunjukan wayang. Seperti diketahui jenis seni pertunjukan semacam ini di Indonesia diyakini sudah ada sejak zaman prasejarah, yang masih terus lestari & dilestarikan bahkan digemari terutama oleh masyarakat pendukungnya “Jawa”. Terkait wujud akulturasi pada pertunjukan jenis ini, dapat dilihat dari pengambilan lakon cerita pada kisah Ramayana & Mahabarata yang berasal dari budaya India, namun ia tidak sama persis itu dengan sebagaimana aslinya. Atinya terjadinya perubahan pada kesenian ‘wayang’ ini antara lain terletak dari dari segi karakter atau perilaku penokohan pada alur cerita-nya; dalam kisah Mahabarata, keberadaan tokoh Durna—“Dorna” dalam cerita aslinya—adalah seorang maha guru dari Pendawa & Kurawa, yang berperilaku baik. Tapi lain lagi cerita-nya pada lakon di Indonesia! Dorna ini dianggap sebagai tokoh berperangai buruk yang suka menghasut. Maka, dengan demikian ini merupakan salah satu bukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya dari India itu toh! melainkan budaya luar yang datang itu pun harus tetap selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan & suasananya di Indonesia tentunya. Kan begitu!


Dalam persoalan wujud akulturasi pada bidang seni, sebenarnya lebih menonjol terlihat pada seni rupa, sastra & seni pertunjukan. Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya itu dapat dilihat pada relief yang umumnya ada di dinding-dinding candi. Gambar-gambar timbul pada candi itu banyak menggambarkan kisah-kisah dari cerita yang berhubungan langsung pada ajaran-ajaran agama, khususnya Hindu-Buddha dalam bentuk fragmen-fragmen. Kisah-kisah yang terdapat pada relief candi peninggal Hindu-Buddha ini dipercaya oleh para ahli lazimnya mengambil dari cerita asli, tapi gambaran suasana kehidupan yang ada di relief dinding-dinding candi itu, adalah suasana kehidupan & dalam keadaan masyarakat maupun alam Indonesia. Bukan masyarakat diluar budaya Indonesia.



Dengan demikian, wujud akulturasi dalam seni—katakanlah seni sastra dalam kesenian wayang sebagai contohnya tadi—secara asbabun nuzul-nya dapat dibuktikan dengan adanya suatu kisah-cerita yang berkembang di Indonesia, yang tafsirnya itu bersumber dari kitab salah satunya seperti, kitab Ramayana atau juga kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab ini adalah kitab kepercayaan umat Hindu. Tapi perkembanganya di Indonesia malah tidak sama persis seperti aslinya di India sana. Artinya sudah terjadi proses sadur kembali ”tafsir ulang” oleh pujangga-pujangga di Indonesia ke dalam bahasa Jawa kuno. Kan begitu!
Nah, Boleh jadi tokoh-tokoh cerita dalam kisah ini tidak cuma dikurangi atau diganti, bahkan bisa jadi malah bertambah, seperti tokoh-tokoh Punokawan; Semar, Bagong, Petruk, Gareng dsb. Bahkan bisa di lihat bahwa, dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata itu, malah tidak menceritakan perang antara Pendawa vs Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri vs Jenggala.
Akulturasi Bahasa
Tidak dapat dipungkiri, salah satu yang memperkaya khazanah perbendaharaan kata pada litaratur bahasa Indonesia adalah bahasa Sanskerta. Ini merupakan wujud akulturasi dalam bidang bahasa, yang bisa dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta itu sendiri pada peninggalan bahasa leluhur (nenek moyang) orang Indonesia, yang masih terekam & dapat ditemui di prasasti-prasasti (batu bertulis). Para pakar menyebutkan bahwa ini merupakan peninggalan Kerajaan Hindu-Buddha sekitar abad antara 5-13 M. Namun dalam perkembangannya, bahasa Sansekerta ini kemudian digantikan oleh, salah satunya seperti bahasa Melayu Kuno yang bisa ditemukan pada prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya abad 7- 13 M. Artinya, kembali lagi, persoalan ini tidak lain merupakan proses akulturasi bahasa, dimana hal itu merupakan suatu bentuk proses alamiah yang terjadi dalam suatu masyarakat maupun kebudayaan tertentu, yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya asing dalam pengertian yang berbeda sifatnya. (Koentjaraningrat, 1990: 91) mengatakan;
“Akulturasi itu sendiri merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu, dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda sifatnya. Unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasi & diintegrasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri”
Senada dengan Koentjaraningrat, dikatakan oleh Sumandiyo Hadi, (2006: 35) bahwa;
“Akulturasi & inkulturasi merupakan dua hal yang berkaitan satu sama lain. Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara dua kebudayaan. Keduanya saling memberi & menerima”
Sumandiyo Hadi juga mengatakan bahwa akulturasi adalah the encounter between two cultures (pertemuan antara dua kebudayaan). Dengan demikian perwujud dari akulturasi seni dalam kebudayaan di Indonesia Indonesia itu memiliki kekhasan tersendiri. Karena tafsirnya begini! Logikanya itu bisa dikatakan bahwa kebudayaan Indonesia yang konon "katakanlah" disadur dari luar itu, ia cuma mengambil intinya saja. Yang secara dharuri (mendasar) orientasinya itu tidak lebih sebagai dasar dari sebuah penciptaan karya seni dalam wujud nya yang baru, & goal "hasilnya" adalah tetap sesuatu yang bercorak Indonesia murni. Maka, dalam persolan model begini sah-sah saja & lazim adanya karena sifatnya yang alamiah. Saya pikir begitu!
Sumber:

  • Koentjaraningrat—METODE-METODE ANTROPOLOGI DALAM PENYELIDIKAN-PENYELIDIKAN MASYARAKAT & KEBUDAYAAN DI INDONESIA. Jakarta. Universitas Indonesia, 1958

No comments:

Post a Comment