REVIEW MAJELIS TA'LIM ILMU MUSIK: Konsepsi Ilmu, Pengetahuan & Peng-Amalan-nya - Widjaja-Library

"Make a Difference with education and be the best" -Antoni Widjaja

Breaking

Sunday, 18 November 2018

REVIEW MAJELIS TA'LIM ILMU MUSIK: Konsepsi Ilmu, Pengetahuan & Peng-Amalan-nya

Menyambung artikel yang saya terbitkan di berita nasional berbasis online bertajuk “Majelis Ta'lim Ilmu Musik: Konsepsi Ilmu, Pengetahuan & Peng-Amalan”, yang nawaitu-nya adalah me-review dalam perspektif filsafat ilmu. Seperti ulasan sebelumnya yang mengatakan bahwa;
Pada hakikatnya musik itu berada diantara ruang mencipta sekaligus memainkan & mendengarkan, karna manusia berkeinginan melihat dirinya sendiri dalam wujud bunyi. Dalam hal ini, musik memiliki keindahan yang melambangkan diri manusia itu sendiri. Sebab disanalah seluruh emosi & vitalitas manusia dipertaruhkan. Dengan kata lain ini merupakan fitrah dari manusia yang sejatinya sebagai makhluk pemilik akal yang terkonsepsi ke dalam sebuah disiplin yang lazim disebut sebagai ilmu pengetahuan.....lmu pengetahuan, jika kita menganilisisnya lebih tajam lagi, adalah amanat. Kita menerima ilmu sebagai amanat & menyampaikannya sebagai amanat pula. Kita mengambil ilmu dengan syarat mampu menjaganya dari kelupaan, mengamalkannya & menyampaikan kepada orang lain yang layak dengan persyaratan yang sama pula. Ibnu Arabi, (2016: 56)
Dalam persoalan ini, jika mau untuk jujur, bisa dilihat dengan jelas toh, bahwa kebanyakan orang sangat meyakini bahwa semua tindakan itu memiliki sebab, meskipun tidak selalu mengetahui sebab-musabab perbuatan yang akan & yang telah dilakukan—pada hakikatnya semua tindakan memiliki sebab—merujuk pada suatu jaringan hubungan logis antara ide-ide yang kerap dibuktikan dalam ilmu filsafat dengan apa yang biasa disebut “fakta”. Tapi dengan catatan, tentunya hal itu juga harus konsisten dong dengan keyakinan-keyakinan bahwa tindakan itu “terperangkap” dalam suatu ikatan rangkap (Double Bind) yang khas bagi banyak permasalahan. Seperti yang dirumuskan William James(1842 – 1910) dalam Mark B Woodhouse (2000: 21);

”...filsafat tidak lain dari usaha yang luar biasa tekun untuk menggiring semua ide ke dalam suatu hubungan yang konsisten & harmonis. Sikap berfilsafat mengambil jarak dari keterlibatan secara pribadi untuk mendapatkan perspektif yang lengkap yaitu; Pertanyaan tentang makna, Pertanyaan tentang kebenaran & Pertanyaan tentang keterkaitan logis”.

Dengan kata lain, artinya yang perlu digaris bawahi itu adalah, jika orang ingin atau hendak menguraikan arti & makna filsafat ilmu itu, maka dia juga harus menjelaskan terlebih dahulu arti dari istilah atau pengertian filsafat itu sendiri. Kan begitu! Tapi itu bukan persoalan mudah. Sebab, tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan apa filsafat itu tanpa melakukan kegiatan berfilsafat. Ini bukan tanpa dalil, sebab demikianlah yang dikatakan oleh Hoogveld – Sassen (1947: 3). 

“Zulk een defenitie zou voor beginners niet veel meer zijn dan een zinloze klank” (Definisi yang demikian itu bagi pemula akan tidak lebih ketimbang hanya sebuah bunyi tanpa makna)".
Artinya, konyol jika ingin menjelaskan sesuatu dengan memberikan cuma satu definisi tunggal. Kan begitu! Nah, jadi kembali ke persoalan konsepsi sebuah ilmu pengetahuan, Alisjahbana (1951: 11) pun mengatakan hal senada, bahwa;

“...segala sesuatu di dunia, bahkan seluruh alam itu tersusun sangat rapi & termakan oleh pikiran. Jadi apabila manusia mengembangkan pikirannya, maka tidak boleh tidak, ia akan dapat mengkaji sekalian isi dunia & alam. Maka, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran itu mendapat cap tahayul. Kegembiraan memeriksa & menyelidiki keluar & menimbulkan pikiran ke dalam inilah yang kemudian memajukan ilmu pengetahuan, seperti belum pernah kelihatan dalam sejarah manusia”.

Nah, pandangan Alisjahbana ini pun linier (sejajar) dengan pandangan Arif B. Sidharta, (2008: 78-79) yang mengatakan bahwa;

“...filsafat ilmu mempersoalkan antara lain, berbagai metode yang dipergunakan untuk memperolah pengetahuan tertentu secara ilmiah. Ia juga mempersoalkan sejauh mana pengetahuan yang demikian itu tidak mustahil untuk dapat dicapai oleh akal manusia. Ia juga berupaya merenungkan asas-asas dari ilmu-ilmu positif itu dapat berdiri secara mantap, yang dengan demikian sekaligus menjelaskan sifat & hakikat dari ilmu-ilmu positif. Filsafat ilmu juga mempersoalkan & memberikan asas-asas darimana ilmu-ilmu positif bertitik-tolak, dengan kata lain, sekaligus menjadi tempat yang kedalamannya ilmu-ilmu positif itu melemparkan masalah-masalah yang tidak dapat dijawab”.

Maka dengan demikian artinya dapat di pahami bahwa, dalam keradikalannya, filsafat itu tampil berbeda dia dengan ilmu-ilmu (positif) lainnya. Kan begitu! Jadi, dalam arti yang lebih sempit, ilmu-ilmu positif itu mempersoalkan tentang duduk perkaranya—sesuatu hal & apa sebabnya—saja. Sementara jawaban pada ilmu positif selalu menimbulkan masalah-masalah baru. Sedangkan filsafat secara radikal, dia langsung mencari sebab terakhir dari setiap persoalan yang ditawarkan. Saya pikir begitu.

No comments:

Post a Comment