Doak sebagai salah satu bentuk seni musik (kesenian tradisional Melayu Jambi), yang dikatakan memiliki tangga nada ber-Laras Pentatonik (Lima Nada) yang kalau boleh dibahasakan dalam bahasa solmisasi yang berangkat dari bahasa Latin (Ut queant laxis, Resonare fibris, Mira gestorum, Famuli tuorum, sampai Sancte Iohannes & kembali lagi ke Ut queant laxis) itu, atau biasa dikenal Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si & kembali ke Do. Doak dikatakan memiliki tangga nada yang terdiri dari: Do – Re – Mi – Sol – & La. Tafsir mengenai persoalan tangga nada Doak ini kiranya perlu ditinjau lebih dalam, mengingat instrument pengiring Doak itu sendiri terdiri dari empat nada yaitu; Do—Re—Sol & La.
Jika kita merujuk pada apa yang disampaikan William P Malm (1993: 194) mengatakan;
"Musik Asia Tenggara merupakan campuran dari musik-musik setempat dengan berbagai pengaruh dari empat tradisi musik: (1) Indonesia (2) Cina (3) India dan (4) pada masa akhir ini musik Barat. Musik-musik campuran (hybrid) melahirkan musik campuran lagi, yang saat ini sangat sulit untuk mengklasifikasi campuran yang saling pengaruh mempengaruhi. Musik Asia Tenggara memeperlihatkan variant yang tidak saja hanya pada Negara-negara di semua kawasan ini, tetapi juga daerah-daerah geografis tertentu pada setiap Negara".
Artinya, kebudayaan musik itu sendiri tidak akan pernah lengkap dengan cara statis, akan selalu ada hasrat untuk mengadopsi kebudayaan “musik” luar dari kebudayaan sendiri “setempat” dengan tidak menghilangkan budaya asli. Dengan kata lain, akan selalu ada kontak kebudayaan yang turut serta mempengaruhi pada sebuah bangunan musik itu sendiri "bisa pada struktur melodi itu, pola ritme, maupun instrument yang digunakan pada pertunjukan seni musik" & saya sangat yakin bahwa orang-orang terdahulu (nenek moyang orang-orang Jambi), hanya menggunakan modus 4 nada itu saja.
Jika dirunut lagi dari leteratur sejarahnya, para sejarahwan bersepakat mangatakan bahwa masyarakat Melayu Jambi adalah masyarakat yang dahulunya pernah sempat memiliki hubungan baik dengan Arab Spanyol pada abad ke 800 M. Secara Logis tentunya dalam cara yang tidak langsung orang-orang pendatang itu tentu membawa budayanya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebudayaan dari orang-orang Arab itu turut serta bercampur dengan budaya setempat (Melayu Jambi). Dalam arti yang lebih sempit, Doak ini mendapat pengaruh dari budaya luar yang di bawa oleh para perantau dari Arab (Islam-Spanyol) sana ke tanah Melayu Jambi pada abad ke 800 M. Hipotesa ini juga diperkuat oleh pernyataan William P Malm (1993: 101-102) yang mengatakan;
"...musik rakyat pan-Islam yang paling banyak adalah vocal".
Artinya apa beda nya dengan Doak itu sendiri? Dapat ditegaskan bahwa penelitian yang hanya melihat dari sudut pandang gaya melodi sama sekali tidak objektif. Karena gaya melodi cuma merupakan sebagain kecil dari analisis musikal, terlebih dari sebuah kebudayaan non-leterasi. William P Malm menambahkan bahwa;
"...teori dan simbolisme musik yang terdapat dalam suatu kebudayaan tanpa tulisan merupakan bagaian dari “perhatian dunia” yang umum (weltanshcauung) terhadap setiap kebudayan, & oleh sebab itu pendekatan yang dianggap sangat mapan adalah juga perlu dari perspektif disiplin antropologi & musikologi".
Nah, kembali ke keseinan tradisional Doak yang secara khusus Doak memiliki 4 nada. Saya sepenuhnya percaya, bahwa tangga nada yang terdapat pada melodi Doak ini adalah Do – Re – Sol - La, nada terts (nada ke tiga "Mi") ini hanya berasal dari appogiatura (not hias). Jenis seperti ini biasa dikenal dengan tangga nada Tetratonic (yang berjumlah 4 nada). Jenis tangga nada seperti ini "tetratonic" juga banyak dijumpai dibeberapa daerah, salah satu nya di Sumatra Barat, yaitu terdapat pada instrument Saluang, yang dalam praktiknya dapat menggunakan lebih dari 4 nada itu sendiri.
Terkait persoalan nada nada terst (nada ketiga “Mi”) pada tangga nada Be-doak. Sekali lagi saya sangat yakin bahwa, awalnya nada ini hanya sebagai not hias “appoggiatura” pada melodi Doak, namun seiring perkembangannya, not hias ini berubah fungsi menjadi nada absolut “menjadi modus murni” pada tangganada melodi musik tradisional masyarakat Tebo "Doak" ini. Persoalan model ini lazim terjadi pada budaya lisan tanpa tulisan. Hal ini juga berkaitan erat dengan studi ilmu alamiah dari sebuah komunitas masyarakat, khususnya masyarakat non-leterasi. Achmad Fedyani Saifuddin, (2006) dalam buku nya mengatakan bahwa;
"...ilmu alamiah berupaya menangkap sejauh mungkin infinitas alam kedalam jejaring konsep generic & hukum-hukum alamiah dan secara logis".
Dengan kata lain, menjadi absolut-nya nada terst (nada ketiga “Mi”) pada tangga nada Doak adalah suatu proses yang alamiah terjadi pada budaya non-leterasi. Karena jenis melodi pada kesenian tradisional maupun konvensianal apapun, dibelahan dunia manapun, adalah sebuah bagian dari proses kreatif dari kreator. Termasuk kesenian tradisional Doak di provinsi Jambi, Kabupaten Tebo khususnya.
Doak ini tergolong ke dalam tangga nada unhimetonic pentatonic (equidistand). Jenis nada seperti ini adalah tergolong ke dalam tangga nada yang tidak memakai interval nada 1/2 & lompatan nada nya dimainkan dengan cara glissando (luncur). Demikian kiranya, hal ini juga tidak hanya berdampak negatif, melainkan malah berdampak positif dalam kekayaan pada ranah kesenian tradisional yang ada di Provinsi Jambi, Kabupaten Tebo khususnya.
Sumber:- Malm, William P.—KEBUDAYAAN MUSIK PASIFIK, TIMUR TENGAH & ASIA.Universitas Sumatera Utara (USU) Press. Medan 1993
- Saifudin, Ahmad Fedyani—ANTROPOLOGI KONTEMPORER: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Kencana. Jakarta, 2006
No comments: