Secara etimologi, istilah inovasi diperkenalkan oleh Schumpeter pertama kali pada tahun 1934 yaitu dalam perspektif organisai. Inovasi dipandang sebagai kreasi & implementasi ‘kombinasi baru’. Istilah kombinasi baru ini merujuk pada produk, jasa, proses kerja, pasar, kebijakan & sistem baru. Dalam inovasi dapat diciptakan nilai tambah, baik pada organisasi, pemegang saham, maupun masyarakat luas. Oleh karenanya sebagian besar definisi dari inovasi meliputi pengembangan & implementasi sesuatu yang baru. Sedangkan istilah ‘baru’ dijelaskan Adair (1996), bukan berarti original, melainkan lebih pada sifat newness (kebaruan). Dengan demikian arti kebaruan ini secara defenitif, dapat dilihat secara jelas jika kembali merujuk pada pendapat Schumpeter bahwa, inovasi adalah suatu kreasi & implementasi dari ‘sesuatu’ menjadi ‘satu kombinasi’ yang dalam pengetian yaitu ‘wujud baru’. Artinya, dengan inovasi ini maka seseorang dapat menambahkan nilai dari—katakanlah seperti—produk, pelayanan, proses kerja, pemasaran, sistem pengiriman, kebijakan, dsb, yang tidak hanya bagi perusahaan & stakeholder, melainkan juga pada masyarakat luas.
Namun demikian, dimensi jarak ini telah dijembatani oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat sehingga dimensi jarak menjadi dipersempit, yang dalam pengertian; kebaruan itu terkait dengan suatu dimensi, lazimnya disebut dimensi ruang & waktu. (dalam de Jong & Den Hartog, 2003) ’Kebaruan’ juga terkait dimensi ruang dan waktu. Artinya, suatu produk atau jasa akan dipandang sebagai sesuatu yang baru di suatu tempat tetapi bukan barang baru lagi di tempat yang lain. Nah implikasinya, ketika suatu penemuan baru itu diperkenalkan pada suatu masyarakat tertentu, maka dalam waktu yang singkat, masyarakat dunia akan mengetahuinya. Dengan demikian ’kebaruan’ itu sendiri relatif lebih bersifat universal. Dengan demikian ’Kebaruan’ itu sendiri tidak akan pernah dapat terlepas dari yang namanya ikatan dengan dimensi waktu. Dalam pengertian lain, merupakan suatu kebaruan “wujud baru” di jamannya.
Jika menengok (menilik) sejarah peradaban suatu bangsa—katakanlah banga Indonesia—dimana seperti pembuatan keris oleh para empu, bangunan candi seperti Borobudur, pembuatan batik dlll, merupakan suatu karya (kerja kreatif) dalam sifatnya yang inovatif di jamannya. Maka pada jaman sekarang yang serba canggih ini, yang dunia itu cuma cukup menekan enter dengan satu jari telunjuk nya, hal serupa pembuata keris, batik bangunan candi itu tidak lagi baru & inovatif. Sebaliknya, dianggap sebagai sesuatu yang kuno (tidak baru). Dengan demikian, ruang lingkup inovasi dalam pandangan Axtell dkk (dalam Janssen, 2003), adalah bergerak mulai dari pengembangan & implementasi ide baru yang mempunyai dampak pada teori, praktek, produk, atau skala yang lebih rendah itu diperbaiki dari desain “proses” kerja sehari-hari. Pandangan ini barangkali sedikit membingungkan. Oleh karenanya, perlu suatu penelitian khusus terkait persoalan “inovasi” ini. Sebab, defenisi inovasi itu sendiri menurut para pakar memiliki dua konklusi yang secara substansial juga memiliki dua pengertian yaitu; Inovasi Individu & Inovasi Kelompok.
Dalam persoalan ini, jika dilihat dari kecepatan perubahan pada proses inovasi Adair, (1996; de Jong & Den Hartog, 2003) berpendapat;
”…organisasi merupakan suatu kecepatan perubahan dalam proses inovasi, yang di dalamnya terdapat dua macam inovasi yaitu; Inovasi Radikal & Inovasi Inkremental (Scot & Bruece, 1994).”
Dalam hal ini, Inovasi Radikal lazimnya dilakukan pada skala besar oleh para ahli di bidangnya & umumnya dikelola oleh departemen penelitian & pengembangan. Inovasi Radikal ini sering kali juga dilakukan dibidang manufaktur & lembaga jasa keuangan. Sedangkan Inovasi Inkremental merupakan kebalikan dari Inovasi Radikal yaitu, proses penyesuaian & mengimplementasikan perbaikan lazimnya berskala kecil. Namun secara dharuri (mendasar) proses inovasi semacam ini “Inovasi Inkremental“ biasa dilakukan oleh semua pihak yang terkait sehingga pendekatan pemberdayaan. Lebih lanjut De Jong & Den Hartog, (2003) menguraikan bahwa Inovasi Inkremental dapat dilihat pada sektor kerja seperti:
- Knowledge-Intensive Service: (KIS) yakni usaha yang meliputi pengembangan ekonomi. Sebagai contoh konsultan akuntansi, administrasi, R&D service, teknik, komputer, & manajemen. Sumber utama inovasi dari kemampuan model ini tidak lain memberikan sebuah hasil desain yang sesuai untuk pengguna suatu layanan khususnya layanan publik. Inovasi macam ini selalu hadir setiap saat & tidak terstruktur.
- Supplier-Dominated Services: Meliputi perdagangan retail, pelayanan pribadi (seperti potong rambut), hotel & restaurant. Macam Inovasi berdasarkan fungsinya, ada dua yaitu; Inovasi Teknologi berupa produk, pelayanan atau proses produksi & Inovasi Administrasi yang bersifat organisasional, struktural. Dengan kata lain semacam Inovasi dalam kerja sosial Brazeal & Herbert, (1997).
INOVATIF
Sementara pengertian perilaku inovatif secara etimologi menurut Wess & Farr (dalam De Jong & Kemp, 2003) adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan, memperkenalkan, & mengaplikasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat—beberapa peneliti menyebutnya sebagai shop-floor innovation—dalam berbagai level organisasi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Stein & Woodman (dalam Brazeal & Herbert,1997), mengatakan bahwa, inovasi adalah implementasi yang berhasil dari ide-ide kreatif. Sementara Bryd & Bryman (2003) juga mengatakan bahwa, ada dua dimensi yang mendasari perilaku inovatif yaitu, Kreativitas & Pengambilan Resiko. Demikian halnya pendapat Amabile dkk (de Jong & Kamp, 2003) bahwa, semua inovasi diawali dari ide yang kreatif.
Terkait persoalan ‘Kreativitas’, pun memiliki pandangan yang menarik untuk ditelaah yaitu, adalah kemampuan untuk mengembangkan ide baru yang terdiri dari 3 aspek;
- Keahilan
- Kemampuan Berfikir Fleksibel & imajinatif
- Motivasi Internal
Dalam proses inovasi Bryd & Bryman, (2003) mengatakan;
“...dalam proses inovasi individu mempunyai ide-ide baru, berdasarkan proses berfikir imajinatif & didukung oleh motivasi internal yang tinggi. Namun demikian sering kali proses inovasi berhenti dalam tataran menghasilkan ide kreatif saja & hal ini tidak dapat dikategorikan dalam perilaku inovatif.”
Artinya, dalam mengimplementasikan ide itu sendiri, diperlukan keberanian “mental” mengambil resiko, karena memperkenalkan ‘hal baru’ itu juga tentu mengandung suatu resiko—yang dimaksud dengan pengambilan resiko adalah kemampuan untuk mendorong ide baru menghadapi haling-rintang yang menghadang, sehingga pengambilan resiko merupakan cara mewujudkan ide kreatif yang masih berupa pikiran menjadi suatu wujud realitas nyata Bryd & Brown, (2003)—Oleh karenanya, jika tujuan semula melakukan inovasi itu bertujuan untuk kemanfaatan organisasi tapi tidak dikelola dengan baik, justru malah akan menjadi boomerang.
Adapun inovasi yang sesuai dengan perilaku inovatif adalah Inovasi Inkremental. Dalam hal ini, yang melakukan inovasi bukan hanya para ahli saja, tapi semua pihak yang terlibat dalam proses inovasi tersebut. Artinya, sistem pemberdayaan semua pihak ini sangat penting & diperlukan sekali dalam perilaku inovatif toh! Dalam persoalan ini, inovasi difokuskan bukan melulu cuma pada output inovatif. Fokus persoalan ini yaitu, perilaku inovatif yang merupakan faktor kunci dari inovasi inkremental itu sendiri. Scott & Bruce, (1994; de Jong & Kemp, 2003) mengatakan:
“Yang dimaksud dengan perilaku inovatif dalam inovasi inkremental adalah semua perilaku individu yang diarahkan untuk menghasilkan & mengimplementasikan hal-hal ‘baru’, yang bermanfaat dalam berbagai level organisasi; yang terdiri dari dua dimensi yaitu ‘kreativitas’ & ‘pengambilan resiko’.”
No comments: