RE-INTERPRETASI RAGAM ALAT MUSIK & MUSIK TRADISIONAL SUMATERA - Widjaja-Library

"Make a Difference with education and be the best" -Antoni Widjaja

Breaking

Tuesday 2 October 2018

RE-INTERPRETASI RAGAM ALAT MUSIK & MUSIK TRADISIONAL SUMATERA

Re-interpretasi (studi ulang) tentang karya-karya lama maupun baru merupakan langkah rill yang membuat karya-karya musik itu selalu mengalami penyegaran, dalam arti, terjadi re-aktualisasi sepanjang sejarahnya—dalam hal ini adalah musik tradisional. Prof Suka Harjana dalam bukunya yang berjudul Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu & Kini, mengatakan bahwa “Bermain musik adalah bermain sejarah". Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa, seseorang saat mendengarkan musik kuno, ia seolah melakukan suatu ziarah waktu ke masa lampau dalam konteks masa kini. Seba dalam mendengarkan atau memainkan musik sejarah (musik kuno) itu, seseorang seolah seperti melakukan sebuah perjalanan sejarah ke masa lalu dimana kesenian itu pernah hidup bersama masyarakat pendukungnya terdahulu.

Mengutip laman kompas.com yang bertajuk "Pentas Ragam Alat Musik Tradisi Sumatera", dalam perhelatan Pameran & Pergelaran Seni Se-Sumatera (PPSS) XIII yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Lampung tahun 2010, Kepala Taman Budaya Lampung, Helmy Azharie mengatakan; “pementasan berbagai alat musik tradisional khas Sumatera itu bertujuan untuk mengingatkan semua pihak tentang keragaman & kekayaan budaya bangsa Indonesia, khususnya Sumatera”. Diberitakan bahwa; “Pertunjukan musik tradisional Sumatera itu mendapat apresiasi bagus dari penonton. Sebagian besar penonton memujii pementasan itu yang menurut mereka telah mengajak untuk mengeksplorasi kebudayaan asli Sumatera”. Dapat disimpulkan bahwa, pemain & penonton partunjukan ini, diajak melakukan perjalanan sejarah (bertamasya) ke masa lalu dengan medium bunyi-bunyian. Dengan kata lain secara psikologis, musik membuktikan keberhasilannya mengolah fantasi manusia masa kini ke masa lalu. Dalam arti yang lebih spesifik, salah satu bukti kekuatan musikal (bunyi) yang mampu mengolah fantasi makhluk manusia itu dengan media bunyinya.

Dalam hal penciptaan, menurut fitrahnya, manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta berdasarkan citranya. Dengan demikian, manusia juga dikatakan sebagai sang pencipta kecil yang terlempar & hilang dari induknya (Tuhan Sang Maha Pencipta). Manusia adalah makhluk missing link yang mempunyai kerinduan abadi untuk kembali kepada-Nya; dalam aliran kepercayaan Jawa lazim dikenal dengan manunggaling kawula Gusti, yaitu bersatunya kembali hamba (kawula) dengan tuannya (Gusti/Tuhan). Maka dalam kerinduannya, manusia mencoba dengan segala akal budinya untuk kembali menemukan jati dirinya—suatu ilusi untuk bertemu dengan Tuan-nya (Tuhan)—Itulah hakikat penciptaan (die Schoepfung, the corection).
Pada awalnya, musik adalah ungkapan rasa batin & pikiran, gejolak dunia yang dekat dengan alam semesta & kepercayaan kepada Sang Maha Pencipta. Sebab tidak dapat dipungkiri, seni merupakan refleksi diri sang pencipta kecil (makhluk manusia) terhadap lingkungan sekitarnya. Maka dapat disimpulkan bahwa, seni adalah tiruan alam sekelilingnya yang di olah sedemikian rupa oleh manusia. Dalam Hal ini Re-Interpretasi yang dimaksud tidak lain semacam peremajaan kesenian itu sendiri—menginterpretasi ulang baik karya-karya maupun instrumen-instrumen (kuno) musik itu—agar tetap selalu segar dimasyarakat pendukungnya. Musik itu sendiri tidak lain hanyalah rekayasa bunyi. Bunyi itu dibuat & direkayasa tidak saja menyerupai citra alam semesta, tetapi lebih dari itu, bunyi ‘dicipta’ oleh komponis (sang penciptanya) menurut citra, angan-angan & kodratnya sebagai manusia. Maka apa & bagaimana suatu karya musik—komposisi, ciptaan atau apapun namanya—pada dasarnya ia tidak akan jauh dari citra komponis (penciptanya). Semoga musik-musik sejarah (kuno) ini dapat bersaing & tetap menunjukan eksistensinya dengan musik-musik populer maupun instrumen-instrumen modern dizaman yang serba cepat & canggih (instan) ini.
Baca:

No comments:

Post a Comment