SENI DALAM SUDUT PANDANG SOSIAL - Widjaja-Library

"Make a Difference with education and be the best" -Antoni Widjaja

Breaking

Sunday 5 April 2015

SENI DALAM SUDUT PANDANG SOSIAL


Perihal hubungan seni & kehidupan sosial merupakan masalah yang selalu muncul dalam suatu taraf perkembangan tertentu. Masalah itu sering dijawab dengan salah satu dari dua pandangan yang jelas saling bertolak belakang. Ada yang menyatakan;
Manusia tidak diciptakan untuk seniman, tetapi senimanlah untuk masyarakat.
Sementra yang lain menolak pandangan ini, menurut pendapat lain;
Seni merupakan tujuan pada diri nya sendiri.
Untuk mengubahnya menjadi sebuah alat guna mencapai sebuah tujuan lain, sekalipun yang paling mulia, artinya memerosotkan martabat penciptaan kreatif. Fungsi seni ialah membantu perkembangan kesadaran manusia, membantu memajukan sistem sosial dimasyarakat. Pandangan pertama dari kedua pandangan ini sudah sangat jelas diungkapkan Chernyshevsky tahun 1860-an, seperti kritiknya dalam salah satu artikel;
Ide seni untuk seni sama asing nya di zaman kita seperti kekayaan untuk kekayaan, ilmu untuk ilmu dsb. Semua kegiatan manusia harus mengabdi pada kemanusian jika kegiatan itu tidak mau menjadi pekerjaan yang sia-sia atau keisengan belaka. Kekayaan ada agar manusia dapat menarik keuntungan dari nya; ilmu ada agar menjadi pedoman manusia; juga seni harus mengabdi pada suatu tujuan yang berguna, bukan untuk kesenangan yang tidak berfa’edah”.
Nikolay Gavrilovich Chernyshevsky 
Tidak, bukan untuk godaan duniawi, atau keserakahan, atau nafsu-nafsu duniawi. Tetapi untuk lagu indah, demi inspirasi, Untuk doa hadir penyair dalam kehidupanDalam pandangan Chernyshevsky nilai seni ditentukan oleh jumlah pengetahuan yang disebar-luaskan pada masyarakatnya. Seni menyebarluskan sejumlah besar pengetahuan & yang lebih penting lagi adalah, membiasakan manusia dengan keonsep-konsep yang digarap oleh ilmu-pengetahuan—itulah tujuan mulia dalam seni, yang mana gagasan ini juga telah dinyatakan Chernyshevsky dalam Disertasi-nya “Hubungan Estetik Dengan Realitas”. Seni tidak hanya mereproduksi kehidupan, melainkan menjelaskannya: hasil seni seringkali mempunyai tujuan untuk melakukan penilaian atas gajala-geajala kehidupan. Sementara pandangan sebaliknya mengenai fungsi seni kreatif mendapat pembelaan kuat dari Alexander Pushkin. Masyarakat meminta pada pelaku seni agar mencipta karya seni yang memajukan moral masyarakat itu sendiri. Pushkin menguraikan pandangan yang seringkali malah dikutip oleh lawannya;
Disini apa yang dinamakan teori seni untuk seni telah dirumuskan dengan cara yang paling mencolok. Dari kedua pandangan yang saling bertolak belakang ini yang manakah yang dapat dianggap benar?
Dalam usaha untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama harus dikatakan bahwa, pertanyaan itu tidaklah dirumuskan secara baik, seperti pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sama, ia tidak dapat didekati dari sudut pendirian “kewajiban” seperti menurut pandangan yang kedua. Jika para seniman dari suatu negeri tertentu menghindari agitasi - pergolakan, & pada saat lain “merindukan agitasi & pergolakan” yang datangnya bersamaan, maka ini bukan karena ada yang menetapkan “kewajiban-kewajiban” yang berlainan pada mereka & pada waktu yang berlainan, melainkan adalah karena dalam keadaan-keadaan sosial tertentu mereka dikuasai oleh suatu sikap pikiran & dalam keadaan-keadaan sosial lain oleh sikap pikiran yang lain pula. Namun jika hendak mendekati persoalan ini secara tepat, maka harus berani melihatnya bukan dari sudut pendirian bagaimana ia semestinya, melainkan harus sebagaimana ia adanya & telah ada. Dari sebab itu akan lahir sebuah rumusan dari sebuah pertanyaaan;
Dalam keadaan-keadaan social yang paling mendasar, bagaimana para seniman dan orang-orang yang berminat pada seni beranggapan dan dirasuki oleh keyakinan akan seni untuk seni?
Sambil menjawab pertanyaan ini, tidak sulit juga untuk menjawab pertanyaan lain, sebuah pertanyaan yang erat hubungannya dengan pertanyaan sebelumnya & tidak kalah menarik dari pertanyaan sebelumnya;
Dalam keadaan yang paling mendasar bagaimanakah para seniman & orang-orang yang berminat pada seni beranggapan & dirasuki oleh yang dinamakan pandangan utilitarian tentang seni yaitu kecenderungan untuk mengaitkan arti penting “penilaian atas gejala-gejala pada kehidupan?
Jawaban yang pertama dari kedua pertanyaan ini memaksa untuk sekali lagi menyebutkan Pushkin. Ada kalanya Pushkin tidak percaya pada teori seni untuk seni, bahkan ia kadang tidak menghindari pergolakan, melainkan dalam kenyataan bahkan ia rindukan. Dalam sepucuk surat tertanggal 12 april 1826 untuk Pushkin;
Kaum muda kita (generasi yang sedang mekar) dengan segala kemiskinan akan pendidikan yang mereka dapatkan, dan yang karenanya tanpa apapun untuk menopang hidupnya, telah berkelana dengan pikiran-pikiran mu yang keras, yang diselimuti oleh penambat hati; kau telah banyak menyebabkan kerugian, kerusakan yang tidak dapat dibetulkan lagi. Ini harus nya membuat mu gemetar, bakat bukan apa-apa, yang utama adalah kebebasan moral_V.A Shukovsky. 
Kiranya dapat dipahami dalam keadaan seperti ini, dengan dibelenggu, sungguh dapat dimaafkan bahwa Pushkin sendiri terjangkit kebencian terhadap “kebesaran moral” menjadikannya jijik terhadap “keuntungan-keuntungan” yang didapat dari seni, dengan kata lain berada dalam keadaan seperti ini sungguh wajar bahwa Puskin menjadi percaya pada Teori Seni untuk Seni. Jika semua hal ini adalah benar, maka akan hadir sebuah kesimpulan dengan sendirinya;
Kepercayaan untuk seni lahir kapan saja seorang seniman berada diluar keselarasan dengan sekitar sosialnya.
Namun tentunya mengambil Pushkin sebagai contoh juga tidaklah cukup untuk membenarkan kesimpulan ini. Sebagai contoh lain yaitu dipinjam dari kesusastraan Perancis, dimana aliran-aliran intelektualnya—sedikitnya sampai pertengahan abad lalu mendapat simpati yang sangat luas diseluruh benua Eropa. Para sezaman Pushkin, kaum romatikus Perancis, pemeluk setia faham seni untuk seni, barangkali yang paling teguh diantaranya adalah Theophile Gautier yang mencaci-maki para pembela pandangan utilitarian tentang seni;
Tidak, kalian hanya orang-orang idiot, hanya orang-orang kerdil, sebuah buku tidak dapat & tidak boleh diubah menjadi semangkuk sup, sebuah novel tidak boleh diubah menjadi sepasang sepatu.....demi isi perut semua Paus, dihari depan masa lalu & masa kini: Tidak, seribu kali tidak…! Aku adalah salah seorang dari mereka yang menganggap kemubaziran sesuatu yang pokok, cinta ku pada benda & manusia berada dalam proporsi kebalikan dari jasa-jasa yang mereka berikan”.
Gautier sangat memuji buku karangan Baudelaire Fleurs du Mal karena telah menjujung tinggi otonomi mutlak seni & tidak mengakui bahwa Sajak mempunyai tujuan lain selain dirinya sendiri, atau mempunyai maksud lain selain merangsang jiwa manusia akan sensasi keindahan dalam arti yang mutlak
(“L’utonomie absolute de L’art et qu’il n’admettait pas que la poesie eut d’autre but qu’elle meme et d’autre mission a remplir que d’exiter dans l’ame du lecteur la sensation du beau; dans le sens absolute du terme”).
Pandangan Gautier ini dapat dilihat dari pernyataannya;
Aku akan dengan sangat senang hati menanggalkan hak-hak ku sebagai seorang Perancis & sebagai warga Negara demi untuk melihat Raphael sejati atau seorang wanita cantik dalam keadaan telanjang
Para kaum Parnassian barangkali akan seiya-sekata dengan pandangan Gautier, sekalipun beberapa diantara mereka memiliki pandangan tertentu mengenai bentuk yang terlampau paradoksal ini, Gautier menyatakan pandangannya akan otonomi mutlak bagi seni. Apakah yang menjadi sebab dari sikap & pandangan kaum romantikus Perancis & Parnassian ini? Dalam sebuah tulisan Gautier tahun 1857 mengenai pementasan kembali Alfred de Vigny – Chatterton, Gautier mengingatkan pada pemetasannya yang pertama kali 12 februari 1835;
Taman bunga dimana Chatterton berdeklamasi, dipenuhi anak muda berambut panjang yang pucat, yang dengan teguh percaya bahwa tidak ada pekerjaan lain yang lebih terhormat dari menulis puisi atau melukis.....& memandang kaum bojuis dengan pandangan rendah yang nyaris lebih rendah dari rubah Heidelberg & Jena dalam menghibur kaum filistin”
Siapakah kaum “borjuis”yang dimaksud Gautier adalah kaum hina ini? Hampir semua banker, perantara, pengacara, pedagang, pemilik toko dsb. Dalam sebuah komentar yang lain, Theodore de Banville juga mengakui telah terjangkiti virus kebencian terhadap kaum borjuis ini. Ia pun menjelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah borjuis tersebut. Dalam bahasa kaum romantikus, borjuis adalah orang yang ber-Tuhan pada kepingan lima-Franc, yang tidak memiliki cita-cita lain selain menyelamatkan diri sendiri, yang dalam dunia puisi gemar roman-roman sentimental & dalam seni plastikal gemar litografi.
Contoh-contoh ini cukup menjadi bukti bahwa kaum romantikus memang sungguh berada diluar keserasian dengan lingkungan sosial borjuis. Benar, tidak ada sesuatu hal yang berbahaya dalam lingkungan borjuis. Bahkan kalangan romantikus ini pun terdiri dari borjuis-borjuis muda yang tidak keberatan dengan hubungan sosial itu, tetapi mereka adalah kaum yang memberontak terhadap kedangkalan eksistensi borjuis.

Pada paruh pertama pemerintahan Louis Philippe “periode paling baik dari romantisisme”, adalah lebih sulit bagi pemuda Perancis untuk membiasakan diri dengan kehidupan borjuis, karena belum lama sebelumnya Perancis baru saja bergejolak & melewati badai dahsyat dari Revolusi besar zaman Napoleon, dimana kaum borjuis mencapai kedudukan tertinggi dalam masyarakat, dimana hidup tidak lagi dihangati oleh api perjuangan untuk sebuah kebebasan, tidak ada sisa bagi seni baru selain mengidealkan penyangkalan dari cara hidup kaum borjuis. Kaum romantikus menyatakan penyangkalan mereka terhadap “kaidah-kaidah & keselarasan” kaum borjuis, tidak hanya pada karya seni namun juga pada kehidupan sehari-hari. Gautier menegaskan bahwa hanya kaum muda yang memenuhi taman-taman bunga dimana pementasan pertama Chatertton berlangsung, semuanya berambut panjang. Siapa yang tidak pernah mendengar tentang baju-Rompi merah, yang membuat “orang-orang sopan” gemetar karena kengerian?
Bagi kaum romantikus muda, pakaian, rambut panjang, paras yang pucat adalah semacam alat untuk menarik garis antara mereka & borjuis. Dengan kata lain semacam protes terhadap kemewahan borjuis. Dalam catatan Gautier; 
Kaum romantikus memiliki kebiasaan untuk memiliki paras yang pucat, bahkan mendekati kuning kehijauan, nyaris seperti mayat, yang membuktikan bahwa ia sudah dilucuti dari nafsu dan penyesalan. Air muka yang sedemikian ini membuatnya menarik dimata para wanita.
Gautier juga menceritakan bahwa kaum romantikus sangat sulit untuk memafaatkan Victor Hugo karna penampilannya yang mewah & dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi seringkali menyayangkan kelemahan penyair besar ini “yang menjadikannya sekeluarga dengan umat manusia, bahkan dengan kaum borjuis”. 

Kembali pada persoalan sudut pandang sosial, usaha untuk suatu penampilan tertentu selalu mencerminkan hubungan-hubungan sosial dari suatu masa tertentu. Barangkali suatu penyelidikan sosiologis yang menarik dapat ditulis mengenai tema ini. Sikap kaum romantikus muda adalah wajar, bahwa mereka merasa jijik terhadap ide “seni berguna”, dimata mereka menjadikan seni berguna adalah sama halnya dengan membuatnya mengabdi pada borjuis yang mereka benci. Ini menjelaskan caci-maki Gautier yang sangat keras pada penganjur seni berguna (orang-orang idiot, orang-orang kerdil, dsb). Dalam pandangan Gautier penilaian terhadap manusia & benda adalah semacam proporsi kebalikan dari jasa yang diberikan. Pada hakikatnya semua caci-maki & keayakinan-keyakinan ini adalah imbalan lengkap dari kata-kata Pushkin;
Pergilah kaum munafik! Apa peduli penyair yang damai akan nasib mu.
Kaum Parnassian & kamu Realis Perancis juga memiliki kebenciannya terhadap kaum Borjuis, menurut mereka jika kaum borjuis menerbitkan karya-karyanya, maka itu bukanlah untuk kepentingan umum, hanya untuk sebagian kalangan kecil “pour des amis inconnus”. Flaubert menulis dalam salah satu suratnya;
“...mereka menandaskan bahwa hanya seorang penulis yang tidak memiliki bakat sungguh-sungguh yang menemukan kesukaan pada kalangan luas pembaca”.
Leconte de Lisle berpadangan bahwa ketenaran seseorang adalah bukti inferioritas intelektual (signe d’inferiorite intellectuelle). Artinya sudah sangat jelas bahwa kaum Parnassian ini juga sama halnya dengan Romantikus adalah penganut teguh teori seni untuk seni. Ada berbagai contoh lain, namun kiranya sudah cukup jelas bahwa faham seni untuk seni lahir dikalangan senimannya saat mereka berada diluar keserasian dengan sekitarnya. Tapi tidak berlebihan juga kiranya untuk menempatkan ketidak-serasian itu secara lebih cermat.

No comments:

Post a Comment